Sabtu, 28 Mei 2016

KELEMBAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

1.       1966 – 1967
Pemerintah membentuk Badan  Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presidan Nomor 256 tahun 1966. Penanggung jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini, paradigma penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
2.       1967 – 1979
Frekuensi kejadian bencana alam terus meningkat. Penanganan bencana secara serius dan terkoordinasi sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada tahun 1967 Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomot 14/KEP/I/1967 yang bertujuan untuk membentuk Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).
3.       1979 – 1990
Pada periode ini Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA) ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1979. Aktivitas menejemen bencana mencakup pada tahap pencegahan, penanganan darurat , dan rehbilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun 1979 membentuk Satuan Koordinasi  Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA) untuk setia provinsi.
4.       1990 – 2000
Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi juga non-alam serta sosial. Bencana non-alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, dan konflik sosial mewarnai pemikiran penanggulangan bencana pada periode ini.  Hal tersebut yang melatarbelakangi penyempurnaan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non-alam dan sosial. Hal ini ditegaskan kembali dengan keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999. Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas pelaku, dan lintas disiplin yang terkoordinasi.
5.       2001 – 2008
Indonesia mengalami krisis multidimensi sebelum periode ini. Bencana sosial yang yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan permasalahan baru. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan khusus karena terkait dengan pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB kemudian dikembangkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pegungsi (Bakornas PBP). Kebijakan tersebut tertuang dalam keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
6.       2005 – 2008
Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia dan dunia internasional dalam manajemen penanggulangan bencana. Menindaklanjuti situasi saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulangan bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan pradigma pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama.
7.       2008
Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah Indonesia sangat serius membangun legalisasi , lembaga, maupun budgeting. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).  BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar