Selasa, 09 Mei 2017

PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah Swt. menjadikan  kita sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa dilakukan tanpa bantuan orang lain. Ini artinya kita harus melakukan interaksi atau hubungan dengan sesama. Kita perlu hidup tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, maupun utang piutang. Termasuk juga dalam kegiatan yang lainnya seperti bercocok tanam atau kegiatan berusaha yang lain. Dengan cara demikian, kehidupan masyarakat menjadi teratur, hubungan yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih baik.
Namun demikian, sifat buruk sering kali menghinggapi diri kita. Contohnya tamak. Sifat tamak ini mendorong kita selalu mementingkan diri sendiri dan lupa terhadap kepentingan orang lain, bahkan masyarakat pada umumnya. Inilah yang menjadi kegelisahan kita sehingga kehidupan tidak lagi nyaman dan tenteram. Tamak, bisa mendorong kita untuk mengambil alih hak orang lain. Oleh karena itu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya tentang bagaimana kita melakukan interaksi dengan manusia yang lainnya.
Hukum yang mengatur hubungan antarsesama manusia ini disebut mu’āmalah. Tujuan diadakannya aturan ini adalah agar tatanan kehidupan masyarakat berjalan dengan baik dan saling menguntungkan. Allah Swt. berfirman:
وَتَعَا وَنُوْا عَلَ الْبِرِّ وَا التَقْوَ وَلاَ تَعَا و نُوْا عَلَ الُاِثْمِ وَالْعُدْ وَانِ وَاتَّقُوْااللهُ
Artinya : “… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat …” ( Q.S. Al Maidah/5:2 )
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian muamalah ?
2.      Apa macam-macam muamalah ?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Muamalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa menyewa, upah-mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut.
1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.
B.     Macam-macam Muamalah
1.      Jual Beli
Praktik jual beli sudah dilakukan sejak manusia ada hanya saja caranya yang berbeda-beda. Jaman dahulu praktik jual beli dengan tukar menukar barang/barter, kemudian jual beli berkembang dengan menggunakan alat tukar berupa uang. Dalam perkembangannya terdapat transaksi jual beli yang tidak menggunakan uang secara nyata tetapi menggunakan berbagai alat sebagai pengganti uang, seperti kartu kredit, ATM, dll.
a.       Pengertian jual beli
Arti jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’ adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam. Pertama; harta yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil, dll. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telepon, dll.
b.      Hukum jual beli
Melainkan jual beli dibenarkan oleh agama sesuai dengan firman Allah swt.
وَاَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya : dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S. Al Baqarah/2:275)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي اله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صل الله عليه وسلم سُاِل : أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبٌ ؟ قَالَ : عَمَلُ اَلرَّ جُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Artinya :”Dari Rifa’ah ibn Rafi’RA. Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tanganny dan setiap jual beli yang mabrur’.” (HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.
c.       Syarat-syarat jual beli
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli. Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual beli adalah sebagai berikut :
1)   Penujal dan pembelinya (akid) haruslah :
·      Baligh
·      Berakal sehat
·      Rusdu (memiliki kemampuan untuk bisa melaksanakan urusan agama dan mengelola keuangan dengan baik)
·      Suka sama suka, yakni atas kehendak sendiri, tanpa ada paksaan dari orang lain.
2)   Uang dan barangnya (Ma’qud alaih) haruslah :
·      Halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala.
·      Bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.
·      Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat disahterimakan. Contoh menjual barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.
·      Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
·      Milik sendiri. Sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual beli melainkan atas barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
3)   Serah terima (Ijab dan kabul)
Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau dapat juga berbentuk tulisan seperti faktur, kwitansi, atau nota, dan lain sebagainya.
Ijab adalah ucapan penjual kepada pembeli sedangkan kabul adalah ucapan penerimaan dari pembeli. Praktik ijab kabul pada saat ini dapat juga dilakukan dengan bentuk tulisan, seperti menggunakan kwitansi, faktur, dan lain sebagainya.
4)   Alat transaksi jual beli
Alat transaksi jual beli haruslah alat yang bernilai dan diakui secara umum penggunaannya.
d.      Rukun jual beli
Rukun adalah hal-hal yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli. Rukun jual beli ada 3 yaitu :
1.      Aqid (pihak yang bertransaksi)
2.      Ma’qud alaih mencakup barang yang dijual dan harganya
3.      Sighat ijab kabul (ucapan serah terima dari penjual dan pembeli)
4.      Ijab dari pihak penjual, kabul dari pihak pembeli
e.       Macam-macam jual beli
1)      Bai’ sohihah
Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.
a.       Macam-macam bai’ sohihah
·      Jual beli barang yang terlihat secara jelas dan ada di tempat terjadinya transaksi
·      Jual beli barang pesanan yang lazim dikenal dengan istilah akad salam
·      Jual beli emas atau perak, baik sejenis atau tidak (bai’ sharf)
·      Jual beli barang dengan menyatakn harga perolehan ditambah keuntungan (bai’ murababah)
·      Jual beri barang secara kerja sama atau serikat (bai’ isyrak)
·      Jual beli barang dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli (bai’ muhatah)
·      Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’ tauliyah)
·      Jual  beli hewan dengan hewan (bai’ muqabadah)
·      Jual beli barang dengan syarat khiyar
·      Jual beli barang dengan syarat tidak ada cacat (bai’ bisyari al baro’ah min al’aib)
2)      Bai’ fasidah
Yaitu akad jual beli yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat dan rukunnya.
a.       Macam-macam bai’ fasidah
·      Jual beli sistem Ijon
·      Jual beli barang haram
·      Jual beli sperma hewan
·      Jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya
·      Jual beli barang yang belum dimiliki
·      Jual beli barang yang belum dijelas
f.       Jual beli yang sah hukumnya, tetapi dilarang Agama
·      Jual beli pada saat khutbah dan shalat jumat
·      Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai pasar
·      Jual beli dengan niat menimbun barang
·      Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan
·      Jual beli dengan cara mengecoh
·      Jual beli barang yang masih dalam tawaran orang lain
g.      Khiyar
Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyar karena jual beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.”(HR. Bukhari dan Mjuslim). Macam-macam Khiyar yaitu sebagai berikut :
a)    Khiyar majelis, adalah semua penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan, meneruskan atau membatalkan jual-beli.
b)   Khiyar Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli.
c)    Khiyar aibi, adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
2.    Gadai
a)      Pengertian Gadai
            Gadai dalam bahasa Arab disebut al-Rahn artinya penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang sebagai jaminan atas hutang yang telah diterimanya. Hal ini dimaksudkan agar pemberi hutang memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya, apabila penjamin tidak mampu membayar hutangnya.
b)      Hukum Gadai
            Hukum asal gadai adalah mubah atau diperbolehkan.
c)      Rukun dan Syarat Gadai
a.       Rukun Gadai
1.      Barang yang digadaikan (marhun)
2.      Hutangnya (marhun bih)
3.      Ucapan serah terima (Siggat ijab dan qabul)
4.      Dua orang yang melakukan akad Ar-rahn (‘aqidaan)
b.      Syarat Gadai
1)      Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (kemampuan mengatur)
2)      Syarat yang berhubungan dengan Marhun (barang gadai) ada tiga:
·      Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
·      Barang gadai tersebut adalah milik orang yang menggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
·      Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyariatkan hal ini.
3)      Syarat berhubungan dengan Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
d)     Manfaat Gadai
            Manfaat gadai (rahn) bagi orang yang menggadaikan (ar-Rahin) adalah, pertama dapat memperoleh sesuatu yang diinginkan dengan cepat. Kedua, tidak kehilangan kepemilikan barang yang digadaikannya.
            Manfatat gadai (ar-rahn) bagi penerima gadai (al-Murtahin) adalah menghindari kemungkinan penggadai (ar-Rahin) melalaikan kewajibannya.
            Manfaat gadai bagi kedua belah pihak (al-‘aqidaan) adalah saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya.
3.    Riba
a.       Pengertian Riba
            Riba berasal dari bahasa Arab, yaitu ar-riba yang artinya kelebihan atau tambahan. Ulama fiqih mendefinisikan riba sebagai kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau penggantinya. Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Misalnya si A meminjam uang di D sebesar Rp 300.000,00  selama satu bulan. Si D mau meminjamkan asal si A bersedia mengembalikannya sebesar Rp 330.000,00 pada saat jatuh tempo. Dalam ilmu fiqih, kelebihan uang Rp 30.000,00 yang harus dibayarkan A disebut riba.
            Dalam masyarakat, untuk menambah penghasilan keluarga orang harus bekerja dengan rajin, baik sebagai pegawai, petani, pedagang, maupun pelaut. Semuanya harus halal dan wajib diusahakan sehingga dapat menumbuhkan ekonomi yang sehat. Sebaliknya, Islam melarang perbuatan riba karena akan merugikan orang lain. Riba akan menambah beban kehidupan bagi orang yang sedang mengalami kesulitan ekonomi yang pada akhirnya dapat memperlebar kesenjangan sosial.
            Menurut Syekh Muhammad Mustafa al Maragi (1881-1945), proses keharaman riba disyariatkan Allah swt. secara bertahap. Tahap pertama, Allah swt. menunjukkan bahwa riba bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan Allah dalam surah ar-Rum ayat 39 yang artinya: “Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” Pada tahap kedua, Allah telah memberi isyarat akan keharam riba melalui kecaman terhadap praktik riba di kalangan masyarakat Yahudi. Pertanyaan ini disampaikan dalam surah an-Nisa ayat 161 yang artinya, “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” Tahap ketiga, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 275, 276, dan 278.
b.      Hukum Riba
            Riba dalam syariat Islam hukumnya haram karena dapat memberatkan masyarakat. Ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa muamalahdengan cara riba hukumnya haram ت sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Imran ayat 130 sebagai berikut :
يَايُّهَاالَّذِيْنَ امَنَوْالاَتَأْكُلُواالرِّبوا اَضْعَا فًا مُّضعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlibat ganda dan takutlah kamu kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan.” (Q.S. Al Imran: 130)
            Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah saw. bersabda.
عَنْ جَابِرٍلَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ا كِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ
Artinya: dari jabir,”telah melaknat rasulullah saw. kepada orang yang memakan riba, wakilnya, penulisnya, dan saksinya.” (H.R. Muslim)
c.       Macam-macam Riba
a)      Riba fadli, adalah pertukaran barang yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b)      Riba qordi, adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberikan kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjam si B uang sebesar Rp 100.000,00  asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp 115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c)      Riba yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.
d)     Riba nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.
d.       Bahaya Riba
a)      Bagi jiwa manusia
·      Riba dapat menumbuhkan sifat egois, sehingga pemakan riba tidak peduli terhadap orang lain namun mementingkan diri sendiri.
·      Riba juga dapat menghilangkan perasaan cinta kebajikan dan perasaan sosial.
·      Pemakan riba akan selalu haus untuk mengumpulkan harta meskipun dengan cara memras orang lain.
b)      Bahaya bagi masyarakat
·      Riba dapat melahirkan permusuhan di lingkungan warga masyarakat.
·      Riba menghancurkan seluruh bentuk kasih sayang, persaudaraan dan perbuatan-perbuatan baik dalam diri manusia.
·      Riba dapat menaburkan benih-benih hasut (provokator) dan kebencian dalam hati manusia, dan menghancurkan hubungan persaudaraan.
c)      Bahayanya terhadap ekonomi
a.       Dalam pandangan ekonomi, riba dapat membelah manusia dalam 2 tingkatan, yaitu :
·      Tingkat elit, yang bergelimang dalam kemewahan dan kesenangan lewat keringat orang lain.
·      Tingkat miskin, yang hidup dalam penderitaan dan kekurangan.
b.      Dari pembagian kelas di atas akan memunculkan kesenjangan sosial dan tingat kesejahteraan dimana kekayaan hanya bertumpuk di tangan beberapa orang saja, hal inilah menjadi pangkal terjadinya msusibah yang akan menimpa suatu masyarakat atau bangsa.
e.       Hikmah diharamkannya Riba
1.      Terhindar dari sikap serakah atau tamak terhadap harta yang bukan miliknya.
2.      Mencegah permusuhan dan menumbuhkan semangat kerja sama atau saling menolong sesama manusia.
3.      Mencegah munculnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras dan penimbun harta di tangan satu pihak.
4.      Menghindari dari perbuatan aniaya karena memeras kaum yang lemah, karena riba merupakansalah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu pihak menindas pihak yang lain.
5.      Mengarahkan kaum muslimin mengembangkan hartanya dalam mata pencaharian yang bebas dari unsur penipuan.
6.      Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karena orang yang memakan riba adalah zalim, dan kelak akan binasa.
4.    Utang-piutang
a.       Pengertian utang-piutang
            Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp 100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp 100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.
b.      Rukun utang-piutang
1)      Yang berpiutang dan yang berutang
2)      Ada harta atau barang
3)      Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, “Ya saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
            Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah swt. menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
            Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah swt. menganjurkan memberinya kelonggaran.
وَاِنْ كَانَ ذُوْعُسْرةٍفَنَظِرَةٌاِلى مَيْسَرَةٍ وَاَنْ تَصَدَّقُوْاخَيْرٌلَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya : “dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui ..” (Q.S. Al-baqarah/2:280)
            Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya ssebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. Berkata, “Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu” dan Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
            Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam riba.” (HR. Baihaqi)
5.    Sewa-Menyewa
a.       Pengertian sewa-menyewa
            Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijarah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
            Dasar hukum ijarah dalam firman Allah swt.:
... وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْااَوْلاَدَكُمْ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَاسَلَّمْتُمْ مَّااتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ...
Artinya :”… dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut …” (Q.S. at talaq/65:6)
b.      Syarat dan rukun sewa-menyewa
1.   Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah tetap ballig dan berakal sehat.
2.   Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3.   Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang mengecewakan, atau walinya.
4.   Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5.   Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak.
6.   Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7.   Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Muamalah adalah hukum islam yang mengatur hubungan kepentingan antara sesama manusiayang menyangkut ekonomi dan bisnis. Adapun macam-macam muamalah yaitu jual beli, gadai, riba, utang-piutang, dan sewa-menyewa. Jual beli adalah kegiatan tukar-menukar barang dengan barang lain (uang) dengan cara tertentu. Gadai merupakan penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang sebagai jaminan atas hutang yang telah diterimanya. Riba merupakan tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang mengadakan transaksi. Utang-piutang adalah salah satu bentuk kerja sama atau tolong menolong dalam kehidupan manusia. Sewa menyewa adalah imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya
B.     Saran
Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan tata cara jual beli yang sah menurut agama Islam. Dan kita juga harus memperhatikan riba yang terkandung di dalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang mengharamkan riba dalam Islam.











DAFTAR PUSTAKA
Ilmy Bachrul. 2004. Pendidikan Agama Islam SMA Kelas XI Semester II. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2016. Buku Siswa Fiqih Kelas IX Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementrian Agama Republik Indonesia.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015.Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMA/SMK/MA Kelas XI. Jakarta: Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.