BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Allah Swt.
menjadikan kita sebagai makhluk sosial,
yaitu makhluk yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa dilakukan tanpa
bantuan orang lain. Ini artinya kita harus melakukan interaksi atau hubungan
dengan sesama. Kita perlu hidup tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam
segala urusan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual-beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, maupun utang piutang. Termasuk juga dalam kegiatan yang
lainnya seperti bercocok tanam atau kegiatan berusaha yang lain. Dengan cara
demikian, kehidupan masyarakat menjadi teratur, hubungan yang satu dengan yang
lainnya menjadi lebih baik.
Namun demikian,
sifat buruk sering kali menghinggapi diri kita. Contohnya tamak. Sifat tamak
ini mendorong kita selalu mementingkan diri sendiri dan lupa terhadap
kepentingan orang lain, bahkan masyarakat pada umumnya. Inilah yang menjadi
kegelisahan kita sehingga kehidupan tidak lagi nyaman dan tenteram. Tamak, bisa
mendorong kita untuk mengambil alih hak orang lain. Oleh karena itu, agama
memberi peraturan yang sebaik-baiknya tentang bagaimana kita melakukan
interaksi dengan manusia yang lainnya.
Hukum yang mengatur hubungan antarsesama
manusia ini disebut mu’āmalah. Tujuan
diadakannya aturan ini adalah agar tatanan kehidupan masyarakat berjalan dengan
baik dan saling menguntungkan. Allah Swt. berfirman:
وَتَعَا وَنُوْا عَلَ الْبِرِّ وَا التَقْوَ وَلاَ تَعَا و نُوْا عَلَ
الُاِثْمِ وَالْعُدْ وَانِ وَاتَّقُوْااللهُ
Artinya :
“… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat …” ( Q.S. Al Maidah/5:2 )
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian muamalah ?
2.
Apa
macam-macam muamalah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Muamalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya
hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar menukar barang atau sesuatu
yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa
menyewa, upah-mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan
usaha lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti
jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang
beberapa hal di antaranya seperti berikut.
1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan
kehalalan.
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh
melakukan transaksi jual-beli barang haram.
B.
Macam-macam
Muamalah
1.
Jual
Beli
Praktik jual
beli sudah dilakukan sejak manusia ada hanya saja caranya yang berbeda-beda.
Jaman dahulu praktik jual beli dengan tukar menukar barang/barter, kemudian
jual beli berkembang dengan menggunakan alat tukar berupa uang. Dalam
perkembangannya terdapat transaksi jual beli yang tidak menggunakan uang secara
nyata tetapi menggunakan berbagai alat sebagai pengganti uang, seperti kartu
kredit, ATM, dll.
a.
Pengertian
jual beli
Arti jual beli
secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’
adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang
telah ditentukan oleh hukum islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri
dari dua macam. Pertama; harta yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil,
dll. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telepon, dll.
b.
Hukum
jual beli
Melainkan jual
beli dibenarkan oleh agama sesuai dengan firman Allah swt.
وَاَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya : dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S. Al
Baqarah/2:275)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي اله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صل الله
عليه وسلم سُاِل : أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبٌ ؟ قَالَ : عَمَلُ اَلرَّ جُلِ
بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ, وَصَحَّحَهُ
اَلْحَاكِمُ
Artinya :”Dari
Rifa’ah ibn Rafi’RA. Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang mata pencaharian yang
paling baik, beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tanganny dan setiap
jual beli yang mabrur’.” (HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn
Rafi’)
Berdasarkan
dalil-dalil tersebut, maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.
c.
Syarat-syarat
jual beli
Syarat adalah
hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli. Syarat-syarat
yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual beli adalah sebagai berikut :
1)
Penujal
dan pembelinya (akid) haruslah :
· Baligh
· Berakal sehat
· Rusdu (memiliki kemampuan untuk bisa melaksanakan urusan agama dan
mengelola keuangan dengan baik)
· Suka sama suka, yakni atas kehendak sendiri, tanpa ada paksaan dari
orang lain.
2)
Uang
dan barangnya (Ma’qud alaih) haruslah :
· Halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi
dan berhala.
· Bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan
menyia-nyiakan harta atau pemboros.
· Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang
yang tidak dapat disahterimakan. Contoh menjual barang yang sedang dijadikan
jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.
· Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
· Milik sendiri. Sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual beli melainkan
atas barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
3)
Serah
terima (Ijab dan kabul)
Ijab kabul
dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau dapat juga
berbentuk tulisan seperti faktur, kwitansi, atau nota, dan lain sebagainya.
Ijab adalah
ucapan penjual kepada pembeli sedangkan kabul adalah ucapan penerimaan dari
pembeli. Praktik ijab kabul pada saat ini dapat juga dilakukan dengan bentuk
tulisan, seperti menggunakan kwitansi, faktur, dan lain sebagainya.
4)
Alat
transaksi jual beli
Alat transaksi
jual beli haruslah alat yang bernilai dan diakui secara umum penggunaannya.
d.
Rukun
jual beli
Rukun adalah
hal-hal yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli.
Rukun jual beli ada 3 yaitu :
1.
Aqid
(pihak yang bertransaksi)
2.
Ma’qud
alaih mencakup barang yang dijual dan harganya
3.
Sighat
ijab kabul (ucapan serah terima dari penjual dan pembeli)
4.
Ijab
dari pihak penjual, kabul dari pihak pembeli
e.
Macam-macam
jual beli
1)
Bai’
sohihah
Yaitu akad jual
beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.
a.
Macam-macam
bai’ sohihah
· Jual beli barang yang terlihat secara jelas dan ada di tempat terjadinya
transaksi
· Jual beli barang pesanan yang lazim dikenal dengan istilah akad
salam
· Jual beli emas atau perak, baik sejenis atau tidak (bai’ sharf)
· Jual beli barang dengan menyatakn harga perolehan ditambah
keuntungan (bai’ murababah)
· Jual beri barang secara kerja sama atau serikat (bai’ isyrak)
· Jual beli barang dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli
(bai’ muhatah)
· Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’
tauliyah)
· Jual beli hewan dengan hewan
(bai’ muqabadah)
· Jual beli barang dengan syarat khiyar
· Jual beli barang dengan syarat tidak ada cacat (bai’ bisyari al
baro’ah min al’aib)
2)
Bai’
fasidah
Yaitu akad jual
beli yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat dan rukunnya.
a.
Macam-macam
bai’ fasidah
· Jual beli sistem Ijon
· Jual beli barang haram
· Jual beli sperma hewan
· Jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya
· Jual beli barang yang belum dimiliki
· Jual beli barang yang belum dijelas
f.
Jual
beli yang sah hukumnya, tetapi dilarang Agama
· Jual beli pada saat khutbah dan shalat jumat
· Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai pasar
· Jual beli dengan niat menimbun barang
· Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan
· Jual beli dengan cara mengecoh
· Jual beli barang yang masih dalam tawaran orang lain
g.
Khiyar
Khiyar
adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual beli atau membatalkannya. Islam
memperbolehkan melakukan khiyar karena jual beli haruslah berdasarkan suka sama
suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga
barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas
barang yang diyakininya. Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap
dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan
suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual belinya akan memberkahi
keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan serta berlaku dusta, maka dihapus
keberkahan jual-belinya.”(HR. Bukhari dan Mjuslim). Macam-macam Khiyar yaitu
sebagai berikut :
a)
Khiyar
majelis, adalah semua penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya
transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan, meneruskan atau
membatalkan jual-beli.
b)
Khiyar
Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli.
c)
Khiyar
aibi, adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat
cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun
hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
2.
Gadai
a)
Pengertian
Gadai
Gadai dalam bahasa Arab disebut
al-Rahn artinya penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang
sebagai jaminan atas hutang yang telah diterimanya. Hal ini dimaksudkan agar
pemberi hutang memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya, apabila penjamin tidak mampu membayar hutangnya.
b)
Hukum
Gadai
Hukum asal gadai adalah mubah atau
diperbolehkan.
c)
Rukun
dan Syarat Gadai
a.
Rukun
Gadai
1.
Barang
yang digadaikan (marhun)
2.
Hutangnya
(marhun bih)
3.
Ucapan
serah terima (Siggat ijab dan qabul)
4.
Dua
orang yang melakukan akad Ar-rahn (‘aqidaan)
b.
Syarat
Gadai
1)
Syarat
yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu orang yang menggadaikan
barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh,
berakal, dan rusyd (kemampuan mengatur)
2)
Syarat
yang berhubungan dengan Marhun (barang gadai) ada tiga:
·
Barang
gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang
atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
·
Barang
gadai tersebut adalah milik orang yang menggadaikannya atau yang diizinkan
baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
·
Barang
gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena rahn adalah
transaksi atau harta sehingga disyariatkan hal ini.
3)
Syarat
berhubungan dengan Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang
akhirnya menjadi wajib.
d)
Manfaat
Gadai
Manfaat gadai (rahn) bagi orang yang
menggadaikan (ar-Rahin) adalah, pertama dapat memperoleh sesuatu yang
diinginkan dengan cepat. Kedua, tidak kehilangan kepemilikan barang yang
digadaikannya.
Manfatat gadai (ar-rahn) bagi
penerima gadai (al-Murtahin) adalah menghindari kemungkinan penggadai
(ar-Rahin) melalaikan kewajibannya.
Manfaat gadai bagi kedua belah pihak
(al-‘aqidaan) adalah saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya.
3.
Riba
a.
Pengertian
Riba
Riba berasal dari bahasa Arab, yaitu
ar-riba yang artinya kelebihan atau tambahan. Ulama fiqih mendefinisikan riba
sebagai kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau
penggantinya. Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat suatu
transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada
saat utang jatuh tempo. Misalnya si A meminjam uang di D sebesar Rp
300.000,00 selama satu bulan. Si D mau
meminjamkan asal si A bersedia mengembalikannya sebesar Rp 330.000,00 pada saat
jatuh tempo. Dalam ilmu fiqih, kelebihan uang Rp 30.000,00 yang harus
dibayarkan A disebut riba.
Dalam masyarakat, untuk menambah
penghasilan keluarga orang harus bekerja dengan rajin, baik sebagai pegawai,
petani, pedagang, maupun pelaut. Semuanya harus halal dan wajib diusahakan
sehingga dapat menumbuhkan ekonomi yang sehat. Sebaliknya, Islam melarang
perbuatan riba karena akan merugikan orang lain. Riba akan menambah beban kehidupan
bagi orang yang sedang mengalami kesulitan ekonomi yang pada akhirnya dapat
memperlebar kesenjangan sosial.
Menurut Syekh Muhammad Mustafa al
Maragi (1881-1945), proses keharaman riba disyariatkan Allah swt. secara
bertahap. Tahap pertama, Allah swt. menunjukkan bahwa riba bersifat negatif.
Pernyataan ini disampaikan Allah dalam surah ar-Rum ayat 39 yang artinya: “Dan
suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” Pada tahap kedua, Allah telah
memberi isyarat akan keharam riba melalui kecaman terhadap praktik riba di
kalangan masyarakat Yahudi. Pertanyaan ini disampaikan dalam surah an-Nisa ayat
161 yang artinya, “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.” Tahap ketiga, Allah mengharamkan riba secara total dengan
segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah
ayat 275, 276, dan 278.
b.
Hukum
Riba
Riba dalam syariat Islam hukumnya
haram karena dapat memberatkan masyarakat. Ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa
muamalahdengan cara riba hukumnya haram ت
sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Imran ayat 130 sebagai berikut :
يَايُّهَاالَّذِيْنَ امَنَوْالاَتَأْكُلُواالرِّبوا اَضْعَا فًا مُّضعَفَةً
وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlibat
ganda dan takutlah kamu kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan.”
(Q.S. Al Imran: 130)
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah saw. bersabda.
عَنْ جَابِرٍلَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ا
كِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ
Artinya:
dari jabir,”telah melaknat rasulullah saw. kepada orang yang memakan riba,
wakilnya, penulisnya, dan saksinya.” (H.R. Muslim)
c.
Macam-macam
Riba
a)
Riba
fadli, adalah pertukaran barang yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin
emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11
gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b)
Riba
qordi, adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberikan kelebihan saat
mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjam si B uang sebesar Rp
100.000,00 asal si B bersedia
mengembalikannya sebesar Rp 115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut
riba.
c)
Riba
yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual
dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang,
ketela yang masih di dalam tanah.
d)
Riba
nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu
kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya,
kemudian setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di
musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.
d.
Bahaya Riba
a)
Bagi
jiwa manusia
·
Riba
dapat menumbuhkan sifat egois, sehingga pemakan riba tidak peduli terhadap
orang lain namun mementingkan diri sendiri.
·
Riba
juga dapat menghilangkan perasaan cinta kebajikan dan perasaan sosial.
·
Pemakan
riba akan selalu haus untuk mengumpulkan harta meskipun dengan cara memras
orang lain.
b)
Bahaya
bagi masyarakat
·
Riba
dapat melahirkan permusuhan di lingkungan warga masyarakat.
·
Riba
menghancurkan seluruh bentuk kasih sayang, persaudaraan dan perbuatan-perbuatan
baik dalam diri manusia.
·
Riba
dapat menaburkan benih-benih hasut (provokator) dan kebencian dalam hati
manusia, dan menghancurkan hubungan persaudaraan.
c)
Bahayanya
terhadap ekonomi
a.
Dalam
pandangan ekonomi, riba dapat membelah manusia dalam 2 tingkatan, yaitu :
·
Tingkat
elit, yang bergelimang dalam kemewahan dan kesenangan lewat keringat orang
lain.
·
Tingkat
miskin, yang hidup dalam penderitaan dan kekurangan.
b.
Dari
pembagian kelas di atas akan memunculkan kesenjangan sosial dan tingat
kesejahteraan dimana kekayaan hanya bertumpuk di tangan beberapa orang saja,
hal inilah menjadi pangkal terjadinya msusibah yang akan menimpa suatu
masyarakat atau bangsa.
e.
Hikmah
diharamkannya Riba
1.
Terhindar
dari sikap serakah atau tamak terhadap harta yang bukan miliknya.
2.
Mencegah
permusuhan dan menumbuhkan semangat kerja sama atau saling menolong sesama
manusia.
3.
Mencegah
munculnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras dan penimbun harta di
tangan satu pihak.
4.
Menghindari
dari perbuatan aniaya karena memeras kaum yang lemah, karena riba
merupakansalah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu pihak
menindas pihak yang lain.
5.
Mengarahkan
kaum muslimin mengembangkan hartanya dalam mata pencaharian yang bebas dari
unsur penipuan.
6.
Menjauhkan
orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karena orang yang
memakan riba adalah zalim, dan kelak akan binasa.
4.
Utang-piutang
a.
Pengertian
utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan
harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu
kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp
100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp 100.000,00. Memberi utang
kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.
b.
Rukun
utang-piutang
1)
Yang
berpiutang dan yang berutang
2)
Ada
harta atau barang
3)
Lafadz
kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, “Ya
saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah
punya akan saya lunasi.”
Untuk menghindari
keributan di belakang hari, Allah swt. menyarankan agar kita mencatat dengan
baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang
berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah swt. menganjurkan
memberinya kelonggaran.
وَاِنْ
كَانَ ذُوْعُسْرةٍفَنَظِرَةٌاِلى مَيْسَرَةٍ وَاَنْ تَصَدَّقُوْاخَيْرٌلَّكُمْ
اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya : “dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka
berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu
menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui ..” (Q.S.
Al-baqarah/2:280)
Apabila orang
membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa
perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan
merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya ssebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar
utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. Berkata, “Rasulullah saw. telah
berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan
yang beliau utang itu” dan Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang paling baik di
antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang
berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan
telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan
tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap
piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam riba.” (HR.
Baihaqi)
5.
Sewa-Menyewa
a.
Pengertian
sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam
disebut ijarah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa
yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat
tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijarah dalam firman
Allah swt.:
... وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ
تَسْتَرْضِعُوْااَوْلاَدَكُمْ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَاسَلَّمْتُمْ
مَّااتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ ...
Artinya
:”… dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut …” (Q.S. at
talaq/65:6)
b.
Syarat
dan rukun sewa-menyewa
1.
Yang
menyewakan dan yang menyewa haruslah tetap ballig dan berakal sehat.
2.
Sewa-menyewa
dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3.
Barang
tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang mengecewakan, atau walinya.
4.
Ditentukan
barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5.
Manfaat
yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua
belah pihak.
6.
Berapa
lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7.
Harga
sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati
bersama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muamalah
adalah hukum islam yang mengatur hubungan kepentingan antara sesama manusiayang
menyangkut ekonomi dan bisnis. Adapun macam-macam muamalah yaitu jual beli,
gadai, riba, utang-piutang, dan sewa-menyewa. Jual beli adalah kegiatan
tukar-menukar barang dengan barang lain (uang) dengan cara tertentu. Gadai
merupakan penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang sebagai
jaminan atas hutang yang telah diterimanya. Riba merupakan tambahan pembayaran
tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang
yang mengadakan transaksi. Utang-piutang adalah salah satu bentuk kerja sama
atau tolong menolong dalam kehidupan manusia. Sewa menyewa adalah imbalan yang
harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya
B.
Saran
Kita
sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan tata cara jual beli
yang sah menurut agama Islam. Dan kita juga harus memperhatikan riba yang
terkandung di dalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang
mengharamkan riba dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ilmy Bachrul. 2004. Pendidikan Agama Islam SMA Kelas XI Semester
II. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2016. Buku Siswa Fiqih
Kelas IX Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah,
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementrian Agama Republik Indonesia.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015.Pendidikan Agama
Islam dan Budi Pekerti SMA/SMK/MA Kelas XI. Jakarta: Pusat Kurikulum
Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar